Monday, January 22, 2007

Kebakaran Hutan: Bencana Tahunan Riau

Pembakaran Hutan: Bencana Tahunan Riau
Gugaatn Kejahatan Terhadap Lingkungan: Pembakaran Hutan dan Lahan Riau


Dimulai sejak tahun 1990-an, ketika industri kayu mulai menggeliat dan mulai mempraktekkan budaya tebang, imas dan bakar, yang akhirnya menjadi ritme keseharian industri kehutanan Riau, dan menjadikan asap sebagai menu tahunan masyarakat Riau.

Bila ditarik benang merah, pembakaran hutan dan lahan adalah dosa turunan. Sebuah symptom dari memburuknya kesehatan hutan alam Riau akibat eksploitasi hutan secara masif sejak 1980-an. Blunder pengelolaan hutan inilah yang menjadi penyebab utama rusaknya hutan alam yang ada, di samping sebagai penyebab utama kebakaran hutan dan lahan.

DOSA TURUNAN DARI SALAH KELOLA

PERTAMA, dari kemampuan hutan alam Riau dalam menyediakan bahan baku bagi industri kayu yang ada. Dengan kebutuhan 14,7 juta meter³ pertahun, industri kayu di Riau memaksa hutan alam dan hutan industri menyuplai kayu jauh di atas kemampuannya, yang secara lestari hanya mampu menyediakan 7,7 juta meter kubik³ pertahun.

Hal ini terjadi salah satunya dikarenakan pembangunan industri kayu tidak dibarengi dengan pembangunan hutan tanaman yang akan menyuplai bahan bakunya.

Otomatis kekurangan tersebut dipenuhi dari penebangan ilegal. Kesenjangan inilah yang patut dipertanyakan, utamanya tentang bagaimana industri kayu tersebut mampu memenuhi kebutuhannya.

Keadaan ini diperparah dengan, KEDUA, besarnya peluang yang diberikan pemerintah kepada pengusaha untuk melakukan konversi hutan menjadi perkebunan monokultur skala besar seperti perkebunan kelapa sawit maupun kebun kayu (HTI).

Pemerintah juga melakukan politik konversi dengan memberikan insentif IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) kepada pengusaha perkebunan dan Dana Reboisasi kepada pengusaha HTI.

Laju konversi inilah, KETIGA, yang dianggap menjadi penyebab maraknya kebakaran hutan.

Kegiatan pembukaan lahan dengan melakukan tebang habis dan pembakaran masih merupakan sebuah alternartif land clearing yang paling murah, mudah dan cepat. Ini dibuktikan dari sejak 2 Juni hingga 10 Juni 2003 saja telah terdeteksi jumlah hotspot sebanyak 2.406 titik yang tersebar secara merata di seluruh Kabupaten di Propinsi Riau.

Perlu pula dipahami, bahwa tingginya kebutuhan akan CPO di dunia membuat banyak investor melirik sektor perkebunan kelapa sawit.

Ini pula yang membuat HTI dan Perkebunan Besar melakukan land clearing dengan metode pembakaran agar bisa dengan cepat dilakukan penanaman dengan biaya yang rendah sekaligus menghasilkan keuntungan yang besar.

Pembakaran lahan juga merupakan salah satu yang digunakan oleh Perkebunan Besar untuk menaikkan pH tanah. Untuk Riau hal ini dilakukan karena pada umumnya tanah di Riau bergambut dengan pH 3 - 4 dan tidak cocok untuk ditanami oleh kelapa sawit (contoh kasus: pembakaran yang dilakukan di areal PT. Adei Plantation & Industry).

Peristiwa el Nino memang berhubungan dengan kekeringan dan kebakaran hutan. Namun, patut digaris bawahi bahwa el Nino bukan penyebab kebakaran hutan melainkan necessary condition terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

Dengan tipe hutan yang kita miliki, serasah yang muncul jauh lebih sedikit dibanding tipe hutan seperti Eropa dan Amerika. Munculnya serasah disebabkan semakin luasnya tutupan hutan alam yang terbuka akibat penebangan yang merusak. Kebakaran hutan tidak akan mungkin terjadi bila tidak dipantik oleh api diatas serasah. Itu sebabnya paper ini menyebutnya sebagai PEMBAKARAN HUTAN, yang mengandung unsur kesengajaan.

Patut digarisbawahi pula bahwa upaya menyalahkan perladangan tradisional gilir balik adalah sangat tidak beralasan sama sekali. Hal ini bisa kita lihat dan pahami bahwa kegiatan tradisional tersebut telah lama diakukan oleh masyarakat namun belum pernah terjadi seperti ini. Meskipun pada masa itu juga telah terjadi El Nino.

Di atas itu semua, WALHI Riau melihat bahwa kesalahan bukan semata di pundak pengusaha. Pemerintah sebagai penyelenggara negara juga dinilai alpa dalam melakukan pengawasan dan pengamanan terhadap Lingkungan. Justru, inilah muara dari seluruh bencana tahunan ini.

Otonomi Daerah selama ini lebih diartikan sebagai pemindahan kekuasaan dan wewenang dari pusat ke daerah dalam hal pemanfaatan dan eksploitasi hutan. Otonomi Daerah tidak pernah dilihat sebagai pemindahan kekuasaan dan wewenang dalam hal pengamanan dan pengawasan terhadap Hutan.

Nilai Ekonomi dari Hutan juga semata dilihat dari berapa banyak tegakan kayu yang bisa ditebang dan berapa banyak tanaman eksotis, seperti Kelapa Sawit dan Akasia yang bisa ditanam. Fungsi Hutan sebagai sebuah sistem ekologis tidak pernah dilihat sebagai Nilai Ekonomi. Ia menjadi sebuah faktor yang tidak pernah dimasukkan dalam perencanaan pembangunan perekonomian skala mikro, apalagi makro.

Akibatnya, jelas. Musnahnya 64% investasi yang ditanam melalui APBD tahun 2002 akibat banjir adalah sebuah indikator yang tidak perlu diragukan lagi dari sebuah perencanaan yang menafikan nilai-nilai ekologis.

Dan sekarang kita berhadapan dengan asap. Berapa kerugian pasti dari bencana kali ini memang belum dihitung. Namun, bila diambil rata-rata dengan teori sederhana kita akan mendapatkan angka kerugian senilai 2 milyar lebih untuk sebuah kebakaran tidak lebih dari 10 hari.

Angka ini diperoleh dari hitungan bahwa pada awal Juni ini kita sudah menemukan 2.406 titik api. Diasumsikan dengan resolusi paling tinggi, 1 titik hotspot mewakili luas 1.500 m2. Dengan perhitungan Pengestu dan Ahmad, 1998:

Fungsi Hutan Nilai per ha*(Rp.) Kerugian Skala Daerah
Pengaturan gangguan 25.000 Rp. 9.022.500
Hidrologi 30.000 Rp. 10.827.000
Persediaan Air 40.000 Rp. 14.436.000
Pengendalian Erosi 1.225.000 Rp. 442.102.500
Pembentukan Tanah 50.000 Rp. 18.045.000
Siklus Hara 4.610.000 Rp. 1.663.749.000
Penguraian Limbah 435.000 Rp. 156.991.500
Total Rp. 2.315.173.500

Fantastis untuk sebuah kebakaran yang hanya terjadi dalam waktu tidak lebih dari 10 hari. Bahkan pun kita belum memasukkan nilai Tegakan Kayu, Hasil Hutan Non Kayu, Sumber Genetika, Fungsi Rekreasi, Fungsi Ekologi, Keanekaragaman Hayati dan Perosot Emisi Karbon, yang bila dihitung akan melebihi angka tersebut. Dan ini baru didapat dari jumlah titik hotspot. Belum dihitung luasan yang tidak lagi mengeluarkan panas sehingga tidak terdeteksi.

Apa yang sudah dilakukan Pemerintah Daerah Propinsi Riau?

Tidak ada melainkan rapat untuk membuat tim kecil yang masih akan membahas langkah apa yang tepat dilakukan. Bisa jadi hasil tim kecil ini akan muncul setelah kebakaran usai karena faktor alam-hujan, misalnya.

Ini adalah bukti bahwa Pemerintah Daerah sama sekali tidak mempunyai sense of crisis, tidak melihat bahwa kebakaran hutan sebagai ancaman bagi kesehatan warganya dan roda perekonomian Propinsi Riau. Pembentukan tim hanyalah langkah reaktif dan bersifat ad hoc.

Pertanyaannya kemudian, sampai berapa lama kita akan terus terperosok pada lubang yang sama. Bahkan seekor keledai pun tidak akan sudi terperosok pada lubang yang sama.

Didasarkan pada Keinginan untuk memperbaiki model pengelolaan sumber-sumber kehidupan masyarakat Riau umumnya dan Sumberdaya Hutan Khususnya, WALHI Riau mengajukan Gugatan Legal Standing terhadap Pemerintah Indonesia, Pemerintah Daerah Propinsi Riau, Pemerintah Daerah di 11 (sebelas) Kabupaten dan 38 Perusahaan yang Terindikasi melakukan Pembakaran dengan tuntutan:

SEGERA Kepada Pemerintah
Menghentikan seluruh izin konversi
Membuka posko kesehatan di setiap kecamatan untuk pengobatan gratis bagi korban asap/ ISPA
Memadamkan api segera dengan pembom air dan/ atau hujan buatan atas biaya perusahaan yang lahannya terbakar, sedangkan untuk kawasan hutan lindung dan APL dengan dana Pemda

Kepada Perusahaan Pelaku Pembakaran Lahan
Menghentikan aktivitas Land Clearing dan memobilisir karyawan untuk melakukan pemadaman
Membiayai pemadaman api dilahan dan atau hutan sekitarnya

Tuntutan Profesional Kepada Pemerintah

- STOP konversi lahan.
- Melarang dengan tegas metode bakar dalam melakukan land clearing
- Mencabut seluruh izin usaha bagi perusahaan-perusahaan yang menggunakan metode bakar dalam proses land clearing.
- Memberlakukan hukuman bagi PENJAHAT LINGKUNGAN dengan proporsional
- Menyusun Pedoman Pembukaan Lahan Tanpa Bakar yang sifatnya tegas, jelas dan mudah dipahami oleh masyarakat awam sekalipun
- Memberlakukan insentif ekonomi sebagai ransangan kepada perusahaan yang melakukan land clearing tanpa metode bakar
- Menyusun sebuah rancangan peraturan daerah tentang pencegahan, pemantauan dan penanggulangan kebakaran hutan
- Re-design PUSDAKARHUTLA yang dibentuk melalui SK Gubernur Propinsi Riau No : KPTS 25/V/2000, utamanya agar rantai birokrasi pemantauan dan pelaporan kebakaran hutan tidak terlalu panjang sehingga menyulitkan aspek penanggulangan itu sendiri
- Mewajibkan setiap perusahaan untuk membangun sumur artesis dan peralatan pemadam kebakaran di lahan konsesi yang dianggap potensial terjadi kebakaran dengan menyertakan aspek pemeliharaan bersama masyarakat (bila ada dan berdekatan)
- Mempersiapkan dan menyempurnakan pedoman teknis pemadaman kebakaran dengan mengikutsertakan masyarakat di dan sekitar hutan sebagai mitra sejajar
- Adanya Sistem Peringatan Dini yang akan mendorong semua daerah yang berpotensi besar dalam kebakaran hutan dan lahan bisa mempersiapkan semua peralatan, mensiagakan petugas dan lain sebagainya.